By Riawani Elyta in Be a Writer
*Sekali lagi mohon maaf, untuk postingan yang mendahului hari jadwal, nggak enak nih utang ke orangnya udah kelamaan, tapi masih nyambung koq, hari ini diskusi novel tho? juga masih ada link ama note sy hr senin yg tentang fiksi islami :)*
Mohon jangan dulu mengernyit heran, apalagi sampai terprovokasi saat membaca judul. Penyakit usil saya emang lagi kambuh, toh penerbit sah2 aja memilih judul dan cover yang menarik untuk meningkatkan daya jual buku, so, nggak ada salahnya juga ‘kan, kalo saya pasang judul yang rada abstrak, supaya teman2 sudi mampir ke ‘warung’ saya? :)
Catatan ini saya buat dalam rangka menebus utang, pada penulis yang udah sejak jauh2 hari (atau barangkali udah jauh2 minggu? :) me-request review atas novelnya. Meski dalam hati sempat bertanya2 : dengan novelnya yang tak kurang bertabur enam endorsement, lengkap dgn berlembar2 kata pengantar di hal. awal, juga telah direview oleh bu kepsek dan sempat pula menjadi bahan debat mahasiswa2 UGM, masihkah layak cuap2 saya ini dipertimbangkan? :) while so far, saya sendiri bukanlah seorang reviewer handal selain semata mengutarakan apa yang dirasa dan terpikirkan secara spontan?
Anyway, saya akan mencoba memenuhi utang ini se-balance yang saya mampu. Dan mohon maaf jika ada komentar yang OOT dan barangkali saja dipandang kurang capable ^_^
Sebelum saya mulai, ada satu pertanyaan saya lemparkan : seberapa penting sebenarnya sebuah masukan, pujian dan kritikan bagi penulis? (Topik ini sebelumnya pernah saya singgung dalam note saya yang berjudul ‘Kritikan atau pujian, Kamu Pilih Mana?’) jika ditanyakan pada saya, maka jawaban saya adalah : penting. Tapi bukan yang paling penting. Dalam score 1 – 5, saya akan memberi score 3 untuk ukuran ‘penting’ dari sebuah input yang berupa kritik dan saran.
Kenapa?
Pertama - Karena masih ada yang lebih penting, yaitu bagaimana usaha kita untuk tetap meng-upgrade kualitas tulisan melalui latihan dan pembelajaran yang teratur dan kontinyu, juga menimba wawasan sebanyak-banyaknya. Tanpa aktivitas yang berlangsung rutin ini, kecil kemungkinan kualitas tulisan kita akan berkembang, dan boleh jadi hanya stagnan alias jalan di tempat.
Kedua – karena pada hakikatnya setiap kita memiliki kadar resistensi yang berbeda terhadap input. Ada yang mampu menjadikan kritik dan masukan sebagai cambuk dan motivasi untuk berbuat lebih baik, namun ada juga yang sebaliknya, dan meski kita sudah bertekad ‘pasang badan’ terhadap semua input, kenyataannya tidak segampang saat diucapkan, namun apapun itu, tetaplah berusaha proporsional, sikapi dengan wajar, agar tidak gampang tenggelam dalam euforia pujian ataupun terpuruk oleh hujan kritik atau bahkan menjadi emosional saat karya kita dicela dan diremehkan. Karena jika psikis sudah ‘goyah’, alih-alih ingin termotivasi, justru segala bentuk input hanya akan membuat kita kian malas berkarya.
Analoginya nih, jika kita baru membuka warung makan, lalu ada pelanggan yang complain tentang rasa yang kurang enak, pelayanan yang kurang ramah atau harga yang kurang bersahabat, jangan lantas patah arang dan langsung memutuskan untuk tutup warung. Sebaliknya lakukanlah introspeksi dengan kepala dingin, dan tetap memegang prinsip yang sudah kita bangun, karena toh kita tetap tak akan mampu memuaskan selera semua orang, bukan?
Tuh, kan, belum2 saya sudah OOT? :)
Oke deh, nih dia bagian intinya. Berhubung novel ini sudah cukup sering wara-wiri di agenda BAW, mengisi rubrik resensi, promo buku dan terakhir berupa serangkum berita tentang debat buku, jadi saya tidak lagi akan mengurai sinopsisnya, selain satu tagline ; bahwa novel berjudul Xie Xie Ni De Ai karya Mells Shaliha ini, adalah novel yang menggambarkan perjuangan seorang BMI di Hongkong, dengan tetap mempertahankan prinsip keislaman dan moralitas ditengah gempuran lika-liku dan kultur yang heterogen.
Sebuah tema sentral yang – harus saya akui – sangat inspiratif dan bermuatan. Dengan salah satu misi yang dikedepankan dalam novel ini, adalah tentang hijab. Baik hijab dalam menjaga aurat muslimah juga hijab dalam menjaga pergaulan dengan lawan jenis.
Lantas, berhasilkah?
Hmm, saya membayangkan - jika saja novel ini terbit pada ‘masa keemasan’ fiksi islami di awal tahun 2000an dulu, saya yakin novel ini akan cukup mencuri perhatian. Tapi untuk era sekarang? Bukan. Bukan berarti saya menganggap misi tentang hijab sudah expire, karena semua yang bersumber dari ajaran Islam PASTI tak akan lekang oleh zaman dan berlaku universal, hanya saja, seiring pergeseran trend, setiap penulis harus lebih jeli dalam memilih ‘kemasan’ agar misi ini dapat tersampaikan dengan halus dan menyentuh.
Dalam hal ini, saya cukup mengagumi keberanian penulis mengombinasikan tema ini dengan setting Hongkong, kehidupan seorang BMI juga sedikit aroma Korea drama pada kisah persahabatan tokoh2nya. Namun, jika dianalogikan dengan sebuah roti isi, maka roti yang dihasilkan sudah menunjukkan kombinasi yang baik dari semua bahan, teradon dengan rapi, sayang teksturnya masih kurang smooth.
Yup, saat membaca novel ini, saya masih dapat menangkap dinding pemisah yang jelas antara cerita dengan pesan yang hendak disampaikan, atau dengan kata lain, pesan belum berhasil ‘menyusup’ dengan manis didalam cerita, bahkan makin menuju ending, saya sampai hafal bahwa setiap kalimat nasehat posisinya pasti di penghujung bab :)
Hal yang sama terjadi pada penokohan. Karakter hitam-putih yang lagi2 mengingatkan saya pada pakem fiksi islami di era sebelumnya, dengan kehadiran tokoh serbabaik yang direpresentasikan oleh Alenia dan Aanon. Di satu sisi, saya mengapresiasi penokohan Alenia oleh penulis dan dapat memahami bahwa lewat tokoh inilah sesungguhnya pesan sentral dari novel ini hendak digaungkan. Tokoh yang digambarkan memiliki karakter2 keislaman yang baik juga kukuh memegang prinsip.
Namun menjadi menarik saat melihat tokoh Aanon. Ketertarikannya untuk mendalami Islam bahkan kemudian sampai memutuskan berpindah keyakinan, yang semuanya berawal dari ketertarikannya pada Alenia dan tutur perilakunya yang islami, mencuatkan unsur yang terasa kurang logis dan realistis ditambah lagi dengan perbedaan status keduanya yang kian menambahkan bumbu cinderella syndrome.
Saya tidak bilang bahwa kejadian semacam ini mutlak sebuah kemustahilan, karena dalam kenyataannya kita juga terkadang mendapati peristiwa ‘langka’ saat seseorang mendapat hidayah untuk memeluk islam justru oleh peristiwa2 yang sederhana. Nah, justru karena kelangkaan itulah, mungkin, akan terasa lebih real andai proses menuju islam-nya Aanon ini lebih dieksplorasi.
Untuk setting lokasi, mengingat penulis pernah bermukim di Hongkong, maka tak ada keraguan untuk menyebut bahwa setting cerita ini cukup detail dan apik. Sayang, hal yang sama tidak terjadi pada setting yang dibangun oleh dialog. Pemakaian bahasa asing disini (please tell me, Mells, is this Mandarin, Hokkien, Cantonese, or what?) terasa overuse, membuat proses baca menjadi sedikit terganggu, karena hampir di setiap halaman, mata saya harus berpindah ke footnote untuk melihat arti kalimat. Tidak akan jadi masalah berarti jika overuse terjadi pada penggunaan bahasa Inggris, yang notabene lebih familiar dan mudah dipahami dalam statusnya sebagai bahasa internasional, tapi kalau yang diluar itu, bahasa China contohnya, bahkan sebutan untuk angka2nya saja saya tidak tahu selain satu-satunya kalimat cinta : wo ai ni :)
Salah satu hal yang sulit terhindarkan saat sebagian unsur intrinsik cerita, terutama yang menjadi latar belakang cerita justru diinspirasi dari pengalaman penulis sendiri, adalah bagaimana untuk meminimalisir pola tutur yang lebih mirip true story ketimbang fiksi. Hal ini sempat saya rasakan saat membaca hingga pertengahan bab, sebuah fiksi yang lebih terkesan seperti true story, dan baru secara perlahan sebuah tampilan fiksi yang utuh saya rasakan saat membaca bab pertengahan hingga akhir. Penggunaan Pov-3 yang dipilih penulis, pada bagian2 awal justru masih memosisikan penulis benar2 berada diluar cerita, seperti sedang mendongengkan kisah seorang Alenia, dengan kata lain, penulis belum berhasil menyatukan emosi dan feel dengan tokoh utama, dan proses ini baru sedikit demi sedikit menjadi lebih baik saat cerita terus mengalir.
Terakhir, poin ini sebenarnya lebih tepat saya tujukan pada ilustrator cover dan lay-out. Entah kenapa, sejak saya membeli buku2 terbitan penerbit ini, belum sekalipun saya menemukan cover dan lay-outnya yang nyaman di mata, kalo enggak pemilihan warnanya yang mencolok, ilustrasi lukisan yang kurang melebur dengan latar belakang hingga terkesan seperti tempelan, font judul yang gede, sampai dengan pemilihan font huruf text dalam buku yang kurang di'minati' oleh mata. That's why saya juga hanya bisa nyengir geje saat semua teman yang beli novel saya yang diterbitkan disini bilang enggak suka! sama covernya :) (lah bukan saya yang bikin?^_^ sapa suruh jadi penerbit koq ya otoriter? buku langsung naik cetak tanpa discuss apapun dengan penulis? dgn sistem kontrak, ntar kalo bukunya kurang laku, kalah eye catching ama buku2 lain yang lebih 'elegan', penerbit juga cuma untung tipis tho *halah, malah curcol :D*)
Sebagai penutup catatan, lewat novel ini saya sampaikan apresiasi saya untuk penulis, juga pada semua BMI Hongkong yang aktif menulis dan mampu membuktikan potensi diri lewat karya (ada belasan BMI Hongkong – baik yang masih stay ataupun sudah mudik - yang mengisi friendlist FB saya, dan rata2 aktif menulis ditengah kesibukan dan tekanan pekerjaan *speechless*), kalian adalah angin segar dan pembawa optimisme ditengah-tengah berita2 miris yang selama ini beredar tentang perlakuan tak manusiawi bahkan penderitaan yang dialami oleh pahlawan devisa. Congrat!
= my untidy bedroom, di menit2 pasca kekalahan Tim U-23 Indonesia dari Malaysia di final Sea Games ^_^ =
*Sekali lagi mohon maaf, untuk postingan yang mendahului hari jadwal, nggak enak nih utang ke orangnya udah kelamaan, tapi masih nyambung koq, hari ini diskusi novel tho? juga masih ada link ama note sy hr senin yg tentang fiksi islami :)*
Mohon jangan dulu mengernyit heran, apalagi sampai terprovokasi saat membaca judul. Penyakit usil saya emang lagi kambuh, toh penerbit sah2 aja memilih judul dan cover yang menarik untuk meningkatkan daya jual buku, so, nggak ada salahnya juga ‘kan, kalo saya pasang judul yang rada abstrak, supaya teman2 sudi mampir ke ‘warung’ saya? :)
Catatan ini saya buat dalam rangka menebus utang, pada penulis yang udah sejak jauh2 hari (atau barangkali udah jauh2 minggu? :) me-request review atas novelnya. Meski dalam hati sempat bertanya2 : dengan novelnya yang tak kurang bertabur enam endorsement, lengkap dgn berlembar2 kata pengantar di hal. awal, juga telah direview oleh bu kepsek dan sempat pula menjadi bahan debat mahasiswa2 UGM, masihkah layak cuap2 saya ini dipertimbangkan? :) while so far, saya sendiri bukanlah seorang reviewer handal selain semata mengutarakan apa yang dirasa dan terpikirkan secara spontan?
Anyway, saya akan mencoba memenuhi utang ini se-balance yang saya mampu. Dan mohon maaf jika ada komentar yang OOT dan barangkali saja dipandang kurang capable ^_^
Sebelum saya mulai, ada satu pertanyaan saya lemparkan : seberapa penting sebenarnya sebuah masukan, pujian dan kritikan bagi penulis? (Topik ini sebelumnya pernah saya singgung dalam note saya yang berjudul ‘Kritikan atau pujian, Kamu Pilih Mana?’) jika ditanyakan pada saya, maka jawaban saya adalah : penting. Tapi bukan yang paling penting. Dalam score 1 – 5, saya akan memberi score 3 untuk ukuran ‘penting’ dari sebuah input yang berupa kritik dan saran.
Kenapa?
Pertama - Karena masih ada yang lebih penting, yaitu bagaimana usaha kita untuk tetap meng-upgrade kualitas tulisan melalui latihan dan pembelajaran yang teratur dan kontinyu, juga menimba wawasan sebanyak-banyaknya. Tanpa aktivitas yang berlangsung rutin ini, kecil kemungkinan kualitas tulisan kita akan berkembang, dan boleh jadi hanya stagnan alias jalan di tempat.
Kedua – karena pada hakikatnya setiap kita memiliki kadar resistensi yang berbeda terhadap input. Ada yang mampu menjadikan kritik dan masukan sebagai cambuk dan motivasi untuk berbuat lebih baik, namun ada juga yang sebaliknya, dan meski kita sudah bertekad ‘pasang badan’ terhadap semua input, kenyataannya tidak segampang saat diucapkan, namun apapun itu, tetaplah berusaha proporsional, sikapi dengan wajar, agar tidak gampang tenggelam dalam euforia pujian ataupun terpuruk oleh hujan kritik atau bahkan menjadi emosional saat karya kita dicela dan diremehkan. Karena jika psikis sudah ‘goyah’, alih-alih ingin termotivasi, justru segala bentuk input hanya akan membuat kita kian malas berkarya.
Analoginya nih, jika kita baru membuka warung makan, lalu ada pelanggan yang complain tentang rasa yang kurang enak, pelayanan yang kurang ramah atau harga yang kurang bersahabat, jangan lantas patah arang dan langsung memutuskan untuk tutup warung. Sebaliknya lakukanlah introspeksi dengan kepala dingin, dan tetap memegang prinsip yang sudah kita bangun, karena toh kita tetap tak akan mampu memuaskan selera semua orang, bukan?
Tuh, kan, belum2 saya sudah OOT? :)
Oke deh, nih dia bagian intinya. Berhubung novel ini sudah cukup sering wara-wiri di agenda BAW, mengisi rubrik resensi, promo buku dan terakhir berupa serangkum berita tentang debat buku, jadi saya tidak lagi akan mengurai sinopsisnya, selain satu tagline ; bahwa novel berjudul Xie Xie Ni De Ai karya Mells Shaliha ini, adalah novel yang menggambarkan perjuangan seorang BMI di Hongkong, dengan tetap mempertahankan prinsip keislaman dan moralitas ditengah gempuran lika-liku dan kultur yang heterogen.
Sebuah tema sentral yang – harus saya akui – sangat inspiratif dan bermuatan. Dengan salah satu misi yang dikedepankan dalam novel ini, adalah tentang hijab. Baik hijab dalam menjaga aurat muslimah juga hijab dalam menjaga pergaulan dengan lawan jenis.
Lantas, berhasilkah?
Hmm, saya membayangkan - jika saja novel ini terbit pada ‘masa keemasan’ fiksi islami di awal tahun 2000an dulu, saya yakin novel ini akan cukup mencuri perhatian. Tapi untuk era sekarang? Bukan. Bukan berarti saya menganggap misi tentang hijab sudah expire, karena semua yang bersumber dari ajaran Islam PASTI tak akan lekang oleh zaman dan berlaku universal, hanya saja, seiring pergeseran trend, setiap penulis harus lebih jeli dalam memilih ‘kemasan’ agar misi ini dapat tersampaikan dengan halus dan menyentuh.
Dalam hal ini, saya cukup mengagumi keberanian penulis mengombinasikan tema ini dengan setting Hongkong, kehidupan seorang BMI juga sedikit aroma Korea drama pada kisah persahabatan tokoh2nya. Namun, jika dianalogikan dengan sebuah roti isi, maka roti yang dihasilkan sudah menunjukkan kombinasi yang baik dari semua bahan, teradon dengan rapi, sayang teksturnya masih kurang smooth.
Yup, saat membaca novel ini, saya masih dapat menangkap dinding pemisah yang jelas antara cerita dengan pesan yang hendak disampaikan, atau dengan kata lain, pesan belum berhasil ‘menyusup’ dengan manis didalam cerita, bahkan makin menuju ending, saya sampai hafal bahwa setiap kalimat nasehat posisinya pasti di penghujung bab :)
Hal yang sama terjadi pada penokohan. Karakter hitam-putih yang lagi2 mengingatkan saya pada pakem fiksi islami di era sebelumnya, dengan kehadiran tokoh serbabaik yang direpresentasikan oleh Alenia dan Aanon. Di satu sisi, saya mengapresiasi penokohan Alenia oleh penulis dan dapat memahami bahwa lewat tokoh inilah sesungguhnya pesan sentral dari novel ini hendak digaungkan. Tokoh yang digambarkan memiliki karakter2 keislaman yang baik juga kukuh memegang prinsip.
Namun menjadi menarik saat melihat tokoh Aanon. Ketertarikannya untuk mendalami Islam bahkan kemudian sampai memutuskan berpindah keyakinan, yang semuanya berawal dari ketertarikannya pada Alenia dan tutur perilakunya yang islami, mencuatkan unsur yang terasa kurang logis dan realistis ditambah lagi dengan perbedaan status keduanya yang kian menambahkan bumbu cinderella syndrome.
Saya tidak bilang bahwa kejadian semacam ini mutlak sebuah kemustahilan, karena dalam kenyataannya kita juga terkadang mendapati peristiwa ‘langka’ saat seseorang mendapat hidayah untuk memeluk islam justru oleh peristiwa2 yang sederhana. Nah, justru karena kelangkaan itulah, mungkin, akan terasa lebih real andai proses menuju islam-nya Aanon ini lebih dieksplorasi.
Untuk setting lokasi, mengingat penulis pernah bermukim di Hongkong, maka tak ada keraguan untuk menyebut bahwa setting cerita ini cukup detail dan apik. Sayang, hal yang sama tidak terjadi pada setting yang dibangun oleh dialog. Pemakaian bahasa asing disini (please tell me, Mells, is this Mandarin, Hokkien, Cantonese, or what?) terasa overuse, membuat proses baca menjadi sedikit terganggu, karena hampir di setiap halaman, mata saya harus berpindah ke footnote untuk melihat arti kalimat. Tidak akan jadi masalah berarti jika overuse terjadi pada penggunaan bahasa Inggris, yang notabene lebih familiar dan mudah dipahami dalam statusnya sebagai bahasa internasional, tapi kalau yang diluar itu, bahasa China contohnya, bahkan sebutan untuk angka2nya saja saya tidak tahu selain satu-satunya kalimat cinta : wo ai ni :)
Salah satu hal yang sulit terhindarkan saat sebagian unsur intrinsik cerita, terutama yang menjadi latar belakang cerita justru diinspirasi dari pengalaman penulis sendiri, adalah bagaimana untuk meminimalisir pola tutur yang lebih mirip true story ketimbang fiksi. Hal ini sempat saya rasakan saat membaca hingga pertengahan bab, sebuah fiksi yang lebih terkesan seperti true story, dan baru secara perlahan sebuah tampilan fiksi yang utuh saya rasakan saat membaca bab pertengahan hingga akhir. Penggunaan Pov-3 yang dipilih penulis, pada bagian2 awal justru masih memosisikan penulis benar2 berada diluar cerita, seperti sedang mendongengkan kisah seorang Alenia, dengan kata lain, penulis belum berhasil menyatukan emosi dan feel dengan tokoh utama, dan proses ini baru sedikit demi sedikit menjadi lebih baik saat cerita terus mengalir.
Terakhir, poin ini sebenarnya lebih tepat saya tujukan pada ilustrator cover dan lay-out. Entah kenapa, sejak saya membeli buku2 terbitan penerbit ini, belum sekalipun saya menemukan cover dan lay-outnya yang nyaman di mata, kalo enggak pemilihan warnanya yang mencolok, ilustrasi lukisan yang kurang melebur dengan latar belakang hingga terkesan seperti tempelan, font judul yang gede, sampai dengan pemilihan font huruf text dalam buku yang kurang di'minati' oleh mata. That's why saya juga hanya bisa nyengir geje saat semua teman yang beli novel saya yang diterbitkan disini bilang enggak suka! sama covernya :) (lah bukan saya yang bikin?^_^ sapa suruh jadi penerbit koq ya otoriter? buku langsung naik cetak tanpa discuss apapun dengan penulis? dgn sistem kontrak, ntar kalo bukunya kurang laku, kalah eye catching ama buku2 lain yang lebih 'elegan', penerbit juga cuma untung tipis tho *halah, malah curcol :D*)
Sebagai penutup catatan, lewat novel ini saya sampaikan apresiasi saya untuk penulis, juga pada semua BMI Hongkong yang aktif menulis dan mampu membuktikan potensi diri lewat karya (ada belasan BMI Hongkong – baik yang masih stay ataupun sudah mudik - yang mengisi friendlist FB saya, dan rata2 aktif menulis ditengah kesibukan dan tekanan pekerjaan *speechless*), kalian adalah angin segar dan pembawa optimisme ditengah-tengah berita2 miris yang selama ini beredar tentang perlakuan tak manusiawi bahkan penderitaan yang dialami oleh pahlawan devisa. Congrat!
= my untidy bedroom, di menit2 pasca kekalahan Tim U-23 Indonesia dari Malaysia di final Sea Games ^_^ =