Thursday 8 December 2011

Bedah Novel ; JANGAN TUTUP WARUNG MAKANMU

November 22, 2011 at 10:25am

 By Riawani Elyta in Be a Writer

*Sekali lagi mohon maaf, untuk postingan yang mendahului hari jadwal, nggak enak nih utang ke orangnya udah kelamaan, tapi masih nyambung koq, hari ini diskusi novel tho? juga masih ada link ama note sy hr senin yg tentang fiksi islami :)*

Mohon jangan dulu mengernyit heran, apalagi sampai terprovokasi saat membaca judul. Penyakit usil saya emang lagi kambuh, toh penerbit sah2 aja memilih judul dan cover yang menarik untuk meningkatkan daya jual buku, so, nggak ada salahnya juga ‘kan, kalo saya pasang judul yang rada abstrak, supaya teman2 sudi mampir ke ‘warung’ saya? :)

Catatan ini saya buat dalam rangka menebus utang, pada penulis yang udah sejak jauh2 hari (atau barangkali udah jauh2 minggu? :) me-request review atas novelnya. Meski dalam hati sempat bertanya2 : dengan novelnya yang tak kurang bertabur enam endorsement, lengkap dgn berlembar2 kata pengantar di hal. awal, juga telah direview oleh bu kepsek dan sempat pula menjadi bahan debat mahasiswa2 UGM, masihkah layak cuap2 saya ini dipertimbangkan? :) while so far, saya sendiri bukanlah seorang reviewer handal selain semata mengutarakan apa yang dirasa dan terpikirkan secara spontan?

Anyway, saya akan mencoba memenuhi utang ini se-balance yang saya mampu. Dan mohon maaf jika ada komentar yang OOT dan barangkali saja dipandang kurang capable ^_^

Sebelum saya mulai, ada satu pertanyaan saya lemparkan : seberapa penting sebenarnya sebuah masukan, pujian dan kritikan bagi penulis? (Topik ini sebelumnya pernah saya singgung dalam note saya yang berjudul ‘Kritikan atau pujian, Kamu Pilih Mana?’) jika ditanyakan pada saya, maka jawaban saya adalah : penting. Tapi bukan yang paling penting. Dalam score 1 – 5, saya akan memberi score 3 untuk ukuran ‘penting’ dari sebuah input yang berupa kritik dan saran.

Kenapa?
Pertama - Karena masih ada yang lebih penting, yaitu bagaimana usaha kita untuk tetap meng-upgrade kualitas tulisan melalui latihan dan pembelajaran yang teratur dan kontinyu, juga menimba wawasan sebanyak-banyaknya. Tanpa aktivitas yang berlangsung rutin ini, kecil kemungkinan kualitas tulisan kita akan berkembang, dan boleh jadi hanya stagnan alias jalan di tempat.

Kedua – karena pada hakikatnya setiap kita memiliki kadar resistensi yang berbeda terhadap input. Ada yang mampu menjadikan kritik dan masukan sebagai cambuk dan motivasi untuk berbuat lebih baik, namun ada juga yang sebaliknya, dan meski kita sudah bertekad ‘pasang badan’ terhadap semua input, kenyataannya tidak segampang saat diucapkan, namun apapun itu, tetaplah berusaha  proporsional, sikapi dengan wajar, agar tidak gampang tenggelam dalam euforia pujian ataupun terpuruk oleh hujan kritik atau bahkan menjadi emosional saat karya kita dicela dan diremehkan. Karena jika psikis sudah ‘goyah’, alih-alih ingin termotivasi, justru segala bentuk input hanya akan membuat kita kian malas berkarya.

Analoginya nih, jika kita baru membuka warung makan, lalu ada pelanggan yang complain tentang rasa yang kurang enak, pelayanan yang kurang ramah atau harga yang kurang bersahabat, jangan lantas patah arang dan langsung memutuskan untuk tutup warung. Sebaliknya lakukanlah introspeksi dengan kepala dingin, dan tetap memegang prinsip yang sudah kita bangun, karena toh kita tetap tak akan mampu memuaskan selera semua orang, bukan?

Tuh, kan, belum2 saya sudah OOT? :)

Oke deh, nih dia bagian intinya. Berhubung novel ini sudah cukup sering wara-wiri di agenda BAW, mengisi rubrik resensi, promo buku dan terakhir berupa serangkum berita tentang debat buku, jadi saya tidak lagi akan mengurai sinopsisnya, selain satu tagline ; bahwa novel berjudul Xie Xie Ni De Ai karya Mells Shaliha ini, adalah novel yang menggambarkan perjuangan seorang BMI di Hongkong, dengan tetap mempertahankan prinsip keislaman dan moralitas ditengah gempuran lika-liku dan kultur yang heterogen.

Sebuah tema sentral yang – harus saya akui – sangat inspiratif dan bermuatan. Dengan salah satu misi yang dikedepankan dalam novel ini, adalah tentang hijab. Baik hijab dalam menjaga aurat muslimah juga hijab dalam menjaga pergaulan dengan lawan jenis.

Lantas, berhasilkah?

Hmm, saya membayangkan - jika saja novel ini terbit pada ‘masa keemasan’ fiksi islami di awal tahun 2000an dulu, saya yakin novel ini akan cukup mencuri perhatian. Tapi untuk era sekarang? Bukan. Bukan berarti saya menganggap misi tentang hijab sudah expire, karena semua yang bersumber dari ajaran Islam PASTI tak akan lekang oleh zaman dan berlaku universal, hanya saja, seiring pergeseran trend, setiap penulis harus lebih jeli dalam memilih ‘kemasan’ agar misi ini dapat tersampaikan dengan halus dan menyentuh.

Dalam hal ini, saya cukup mengagumi keberanian penulis mengombinasikan tema ini dengan setting Hongkong, kehidupan seorang BMI juga sedikit aroma Korea drama pada kisah persahabatan tokoh2nya. Namun, jika dianalogikan dengan sebuah roti isi, maka roti yang dihasilkan sudah menunjukkan kombinasi yang baik dari semua bahan, teradon dengan rapi, sayang teksturnya masih kurang smooth.

Yup, saat membaca novel ini, saya masih dapat menangkap dinding pemisah yang jelas antara cerita dengan pesan yang hendak disampaikan, atau dengan kata lain, pesan belum berhasil ‘menyusup’ dengan manis didalam cerita, bahkan makin menuju ending, saya sampai hafal bahwa setiap kalimat nasehat posisinya pasti di penghujung bab :)

Hal yang sama terjadi pada penokohan. Karakter hitam-putih yang lagi2 mengingatkan saya pada pakem fiksi islami di era sebelumnya, dengan kehadiran tokoh serbabaik yang direpresentasikan oleh Alenia dan Aanon. Di satu sisi, saya mengapresiasi penokohan Alenia oleh penulis dan dapat memahami bahwa lewat tokoh inilah sesungguhnya pesan sentral dari novel ini hendak digaungkan. Tokoh yang digambarkan memiliki karakter2 keislaman yang baik juga kukuh memegang prinsip.

Namun menjadi menarik saat melihat tokoh Aanon. Ketertarikannya untuk mendalami Islam bahkan kemudian sampai memutuskan berpindah keyakinan, yang semuanya berawal dari ketertarikannya pada Alenia dan tutur perilakunya yang islami, mencuatkan unsur yang terasa kurang logis dan realistis ditambah lagi dengan perbedaan status keduanya yang kian menambahkan bumbu cinderella syndrome.

Saya tidak bilang bahwa kejadian semacam ini mutlak sebuah kemustahilan, karena dalam kenyataannya kita juga terkadang mendapati peristiwa ‘langka’ saat seseorang mendapat hidayah untuk memeluk islam justru oleh peristiwa2 yang sederhana. Nah, justru karena kelangkaan itulah, mungkin, akan terasa lebih real andai proses menuju islam-nya Aanon ini lebih dieksplorasi.

Untuk setting lokasi, mengingat penulis pernah bermukim di Hongkong, maka tak ada keraguan untuk menyebut bahwa setting cerita ini cukup detail dan apik. Sayang, hal yang sama  tidak terjadi pada setting yang dibangun oleh dialog. Pemakaian bahasa asing disini (please tell me, Mells, is this Mandarin, Hokkien, Cantonese, or what?) terasa overuse, membuat proses baca menjadi sedikit terganggu, karena hampir di setiap halaman, mata saya harus berpindah ke footnote untuk melihat arti kalimat. Tidak akan jadi masalah berarti jika overuse terjadi pada penggunaan bahasa Inggris, yang notabene lebih familiar dan mudah dipahami dalam statusnya sebagai bahasa internasional, tapi kalau yang diluar itu, bahasa China contohnya, bahkan sebutan untuk angka2nya saja saya tidak tahu selain satu-satunya kalimat cinta : wo ai ni :)

Salah satu hal yang sulit terhindarkan saat sebagian unsur intrinsik cerita, terutama yang menjadi latar belakang cerita justru diinspirasi dari pengalaman penulis sendiri, adalah bagaimana untuk meminimalisir pola tutur yang lebih mirip true story ketimbang fiksi. Hal ini sempat saya rasakan saat membaca hingga pertengahan bab, sebuah fiksi yang lebih terkesan seperti true story, dan baru secara perlahan sebuah tampilan fiksi yang utuh saya rasakan saat membaca bab pertengahan hingga akhir. Penggunaan Pov-3 yang dipilih penulis, pada bagian2 awal justru masih memosisikan penulis benar2 berada diluar cerita, seperti sedang mendongengkan kisah seorang Alenia, dengan kata lain, penulis belum berhasil menyatukan emosi dan feel dengan tokoh utama, dan proses ini baru sedikit demi sedikit menjadi lebih baik saat cerita terus mengalir.

Terakhir, poin ini sebenarnya lebih tepat saya tujukan pada ilustrator cover dan lay-out. Entah kenapa, sejak saya membeli buku2 terbitan penerbit ini, belum sekalipun saya menemukan cover dan lay-outnya yang nyaman di mata, kalo enggak pemilihan warnanya yang mencolok, ilustrasi lukisan yang kurang melebur dengan latar belakang hingga terkesan seperti tempelan, font judul yang gede, sampai dengan pemilihan font huruf text dalam buku yang kurang di'minati' oleh mata. That's why saya juga hanya bisa nyengir geje saat semua teman yang beli novel saya yang diterbitkan disini bilang enggak suka! sama covernya :) (lah bukan saya yang bikin?^_^ sapa suruh jadi penerbit koq ya otoriter? buku langsung naik cetak tanpa discuss apapun dengan penulis? dgn sistem kontrak, ntar kalo bukunya kurang laku, kalah eye catching ama buku2 lain yang lebih 'elegan', penerbit juga cuma untung tipis tho   *halah, malah curcol :D*)

Sebagai penutup catatan, lewat novel ini saya sampaikan apresiasi saya untuk penulis, juga pada semua BMI Hongkong yang aktif menulis dan mampu membuktikan potensi diri lewat karya (ada belasan BMI Hongkong – baik yang masih stay ataupun sudah mudik - yang mengisi friendlist FB saya, dan rata2 aktif menulis ditengah kesibukan dan tekanan pekerjaan *speechless*), kalian adalah angin segar dan pembawa optimisme ditengah-tengah berita2 miris yang selama ini beredar tentang perlakuan tak manusiawi bahkan penderitaan yang dialami oleh pahlawan devisa. Congrat!

= my untidy bedroom, di menit2 pasca kekalahan Tim U-23 Indonesia dari Malaysia di final Sea Games ^_^ =

Thursday 10 November 2011

[Resensi Buku Admin] Ke Hongkong Bersama Xie Xie Ni De Ai

Hong Kong was my dreamland. Ya, masa remaja saya diisi dengan film-film Mandarin yang membuat saya ngefans dengan para pemainnya. Layaknya remaja sekarang yang gemar film-film Korea dan ngefans artis-artis Korea. Dulu, saya suka mengkliping berita artis Mandarin, di antaranya Tony Leung, Andy Lau, Jacky Chan, Aaron Kwok, dan sebagainya. Saking ngefansnya, saya sampai mimpi terbang ke Hong Kong, dibawa angin puyuh, lalu jatuh di atas atap apartemen tempat tinggal Andy Lau, wkwkwkwk… ngacoooo…..

Seiring bertambah usia dan film-film Mandarin sudah jarang tayang di televisi, saya mulai melupakan impian ke Hongkong, meski tetap antusias bila ada yang pernah ke sana. Hingga kemudian novel-novel saya diterbitkan dan menghubungkan saya dengan salah seorang yang beruntung bisa menginjakkan kaki di tanah bekas jajahan Inggris itu. Ia menelepon langsung dari Hong Kong, mengatakan bahwa ia senang membaca novel-novel saya, dan kelak ingin menjadi penulis seperti saya. Namanya, Ermawati. Dan kini, dia memakai nama pena, Mells Shaliha.

Dia mengirimkan sebuah buku catatan harian, yang ditulisnya selama berada di Hong Kong. Menceritakan perihal dirinya, mengapa berangkat ke Hong Kong, dan impiannya untuk menjadi penulis. Bertahun berlalu, seminggu yang lalu, saya menerima kiriman novel perdananya: Xie Xie Ni De Ai. Subhanallah, seorang Buruh Migran Indonesia, yang tujuh tahun lalu bercita-cita menjadi penulis, kini telah berhasil mewujudkan mimpinya. Terharu.

Xie Xie Ni De Ai, mengingatkan saya akan lagu Andy Lau berjudul sama. Artinya, terima kasih atas cintamu. Kira-kira, isi novel ini pun bernada sama. Ketika mulai membacanya, saya jadi terbawa ke dalam adegan film F4 (versi Taiwan), Boys 2 Flowers (versi Korea). Disuguhi para pemain yang cantik dan ganteng: Chelsy, Aanon, Daniel, Selina, dan Zee. Nama Hong Kong, sebagaimana yang saya ketahui dari SMP, memang punya dua versi; versi Inggris dan versi Mandari. Begitu juga nama-nama di dalam novel ini, disebutkan dua versi. Tentu saja hanya pada pembukaan. Selanjutnya hanya disebut dengan nama  panggilan masing-masing.

Kelimanya bersahabat dan suka mengerjakan tugas kuliah bersama-sama. Lalu, siapakah pemeran utama dalam novel ini? Bukan salah satu dari kelimat orang itu, kok. Melainkan, Alenia Rahmawati, seorang Buruh Migran asal Indonesia, yang bekerja di rumah Chelsy. Seakan mengambil sebagian pengalaman hidup sang penulis, Alenia dikisahkan sebagai seorang BMI yang berbusana muslimah rapi, suka menulis, dan tergabung di sebuah forum kepenulisan di Hongkong. Tentu saja, sang penulis, Mell Shaliha, juga memiliki background yang sama dengan Alenia; BMI yang suka menulis dan pernah tergabung di Forum Lingkar Pena Hongkong :D

Ah, itu sudah biasa kok, jika penulis memasukkan sebagian pengalaman hidupnya ke dalam novelnya. Saya juga begitu. Justru dengan begitu, novelnya lebih hidup. Novel ini ditulis dengan bahasa yang ringan, mudah dicerna, mengalir, dan lincah. Layaknya novel teenlit, yang mudah diterima oleh para remaja. Meski demikian, novel ini tidak kehilangan kecerdasannya. Sehingga agak mengejutkan bila mengingat novel ini ditulis oleh seorang BMI dan termasuk novel perdana. Untuk sebuah novel perdana, novel ini cukup tebal.

Selain itu, kita bisa belajar bahasa Mandarin dan Jepang, sedikit-sedikit, yang tersaji di dalamnya. Mulanya memang saya mengerutkan kening. Katanya, si Ale ini tidak bisa bahasa Mandarin. Kalau berbicara dengan majikannya menggunakan bahasa Inggris. Tapi kok banyak dialog Ale yang menggunakan bahasa Mandarin cukup panjang? Ah, bisa saja sih Ale sedikit-sedikit menguasai bahasa Mandarin, kan sudah lama juga di Hong Kong.

Intinya, novel ini bercerita tentang kisah cinta Ale dan Aanon, salah satu sahabat Chelsy, yang sebenarnya Chelsy juga naksir Aanon. Aanon jatuh cinta kepada Ale, ketika tak sengaja melihat Ale tanpa jilbabnya. Bak novel teenlit lainnya, kisah bergulir tentang percintaan segiempat, Ale-Chelsy-Aanon-Maki. Maki, seorang gadis Jepang yang menumpang tinggal di rumah Chelsy, juga ikut-ikutan jatuh cinta kepada Aanon. Tentu saja Aanon memilih Ale, tapi  bagaimana mungkin? Yang satunya hanya seorang Buruh Migran, yang pekerjaannya sama dengan pembantu rumah tangga, yang satunya lagi pangeran tampan, sahabat majikannya.  Ale pun tak serius menanggapi cinta Aanon, karena perbedaan status dan agama. Jadi, bagaimana akhir kisah mereka? Baca kelanjutannya di novel ini saja ya.

Membaca novel ini, kita bagai diajak mengunjungi Hong Kong, ke beberapa tempat yang menjadi setting novel ini: pantai Hong Kong (lupa namanya), pasar Wanchai, dll. Juga mempelajari beberapa kalimat dalam bahasa Mandarin.  Novel ini hanya sekilas mengupas penderitaan BMI, tidak seperti beberapa novel yang ditulis BMI lainnya. Sebab, ini novel percintaan Cinderella, tetapi si Cinderella tidak berada di bawah tekanan si majikan. Malahan, Chelsy sebagai majikan, menganggap Ale sebagai sahabat baik dan tempat curhatnya.

Pesan yang dapat ditangkap, bagaimana memperjuangkan cinta, meski terhalang perbedaan status dan agama. Juga tetap berprestasi, meskipun cita-cita terhalang tembok beton. Ale yang seorang BMI ini, dapat menunjukkan  bahwa dia aslinya cerdas (jago berdebat dalam bahasa Inggris), serta jago main basket.

Judul  Novel: Xie Xie Ni De Ai (Hong Kong, Terima Kasih Cintamu)
Penulis : Mell Shaliha
Penerbit: Diva Press

REsensi oleh Penulis Favoritku
Leyla Imtichanah

Friday 28 October 2011

MINGGU PAGI DI VICTORIA PARK (MPDVP)2010


Sutradara         : Lola Amaria
Starring           : - Lola Amaria (Mayang)
                - Titi Sjuman  (Sekar)
                - Donny Alamsyah (Vincent), Imelda Soraya, Permatasari Harahap, Donny Damara (Gandi).

Minggu Pagi Di Victoria Park yang disutradari oleh Lola Amaria ini merupakan film jenis drama diangkat dari kisah Buruh Migran Indonesia (BMI)  di Hongkong.  Bukan kehendak hati Mayang yang ingin merantau ke luar negeri, namun atas tekanan batin karena bapaknya selalu membanggakan adik kandungnya Sekar yang sudah beberapa tahun merantau ke Hongkong dan mengirim uang untuk pembangunan rumahnya. Seperti tak ada pilihan lain, akhirnya Mayang menyusul untuk mencari adiknya yang tiada kabar.
Sesampai di Hongkong Mayang mencari Sekar, dibantu kawan-kawannya. Sekar memang tidak lagi bekerja di rumah majikannya secara legal, dia kerja partime dan dililit hutang ribuan dolar. Dibantu staff KJRI Pak Gandi dan Vincent, Sekar bisa ditemukan dalam kondisi memprihatinkan. Sekar selalu pergi ke diskotik untuk mencari uang dan ia dijebak oleh seorang Hongkong untuk melayani ‘sex’ tiga laki-laki paruh baya. Frustasi akhirnya Sekar mencoba bunuh diri di kamar mandi shelternya, namun berhasil digagalkan Mayang.
Dalam film MPDVP ini pergaulan bebas BMI benar-benar disorot. Trend kehidupan Lesbian sesama BMI, kisah percintaan dengan laki-laki Pakistan dan problematika seputar hutang benar-benar dikupas habis. Memberikan gambaran yang jelas bagi masyarakat Indonesia dan pemerintah bahwa BMI masih banyak yang mengalami ‘gangguan mental’ pada saat bekerja di luar negeri.
Sayang, ‘menurut pengamatan saya pribadi’, dalam film ini hanya menunjukkan sisi buruk BMI Hongkong, ‘hampir’ tidak ada segi positif yang terekam dalam film ini, padahal kenyataannya saat ini ada lebih dari 30 organisasi BMI Hongkong yang mengarahkan mereka untuk mengisi liburan dengan kegiatan positif. Namun saya tidak menemukan dalam film itu.
Pesan moral yang saya dapat adalah bahwasannya BMI harus lebih hati-hati dengan jebakan-jebakan dalam pergaulan bebas di Hongkong maupun juga negara lain agar tidak terjerumus dalam jurang yang menyesatkan. Begitu juga pemerintah Indonesia untuk lebih memberikan perhatian bagi mereka (BMI) yang bermasalah di luar negeri.
Demikian yang bisa saya sampaikan untuk ‘belajar’ meresensi karya org lain. Semoga bermanfaat.
Gunungkidul, 28 Okt 2011

Thursday 27 October 2011

LELAH

Mengeja isyaratmu yang begitu rumit kuarti, tak hendak kuberpaling langkah, namun kadang lelah ranah pikir membaca. lalu enggan kumengukir lukamu lebih dalam. Angin meniup perih kurasa, tak kuasa pijak kokohku dan tumbang. Menatapmu dari kejauhan mengalahkan segala pijar penerang, menghangatkan bunga-bunga indah disekitarku. Melati mekar karenamu, mawar mengharum atas kilas-kilas pendar yang kau pancar.
Aku?
tetap duka itu, mencoba mencanda dibawahmu,tapi tidak...
bahkan kutakbisa  mengungkap kata, ada apa diantara kita?
terakhir ...
biar tegas kuucap...jangan ada cinta jika luka yang akan mengakhirinya!
Labuhkan binarmu pada satu kembang terharum, biar terkikis pedihmu perlahan.
Dan aku... meneruskan jejak yang terpotong bersama sisa keindahan kisah yang selalu kau cipta...

Mell Shaliha
Kartasura 03 Agustus 2011

Wednesday 26 October 2011

Sajak dalam Istanaku

BIAR RINGAN BEBAN KUTINGGAL


Kendatipun saat ini bisu menelan kata, peduli apa ? hendak kuraih senyummu utuh. Walau mungkin warna lain kau ingin, aku padukan abu-abuku pada putih, agar cahyanya semakin terang. Akan kah kau goreskan warnamu dalamku?
Masih diam tertelan, hendak ku isi apa putihku tanpa penamu? Sekian tanya jua tak ubah gerakmu,hanya pilu mengganjali dinding-dinding kosong. Atau bisa jadi tiba-tiba kau toreh dengan tinta merah…
Detik terus melaju, seperti penguasa hari saja, hanya mengelap kening penuh lelah. Menghamba pada harap yang memburam. Biar kutinggal beban di sini agar langkah meringan, sambut celah lain yang terbuka, bukan lagi senyum, namun perlihatkan tawa yang kau simpan rapi.
Bersama perjalanan malamku pula, kepada Zat yang Maha Tinggi kusampaikan, kepingan rindu yang terlunta,  riuh cemas kutitipkan. Di depan’Nya pula kubercermin atas perhiasan yang menutup kekurangan dan cela dari warna-warni lembar yang kutoreh… kusibak lagi tirai diantara kita, namun angin selalu saja menutup. Beberapa kali semangatku mengintip, rupanya dinding pembatas jarak meninggi, tak jua kulihat riak lambaimu. Tenang dalam taman Lavidusmu.

Mell Shaliha
Kartasura 15 July 2011


MELLS 15072011

PROSES PENULISAN NOVEL - XIE XIE NI DE AI

“Bagaimanapun Aanon tidak akan mengerti apa yang dirasakan Ale. Ketika tiba-tiba Aanon melihatnya tanpa jilbab. Entah berpengaruh atau tidak terhadap Aanon, atau bahkan dia tidak peduli, akan tetapi bagi Ale ini suatu musibah. Namun, Ale sudah sedikit tenang, meskipun menyesal dengan kejadian itu.”   

Mungkin itu hanya peristiwa sepele yang dialami tokoh Alenia Fatmawati sebagai tokoh utama dalam Novel XIE XIE NI DE AI atau Terima Kasih Untuk Cintamu namun, Peristiwa itu menjadi pintu masuknya ujian-ujian hidup yang akan dihadapi Ale selanjutnya. Tokoh-tokoh pendukung yang berkewarganegaraan Cina pada umumnya seperti Chelsy, Selina, Daniel, Aanon, Zie juga beberapa tokoh dengan kewarganegaraan Jepang seperti Ryu, Maki, dan Dahe, menjadi sarana pembanding budaya yang kompleks dengan apa yang Ale punya dan bawa dari rumah seperti budaya Jawa asalnya yaitu Solo, dan tentu saja Islam yang kental. Selain kisah cinta yang memang dimunculkan di sepanjang bab ke bab, juga lintas bahasa (yang ditandai dengan banyaknya catatan kaki) yang memperkaya imajinasi kita tentang situasi Hong Kong. 

Begitulah harapan saya lewat tokoh Ale bahwa: perempuan-perempuan Indonesia mesti bermartabat; pekerjaan halal meski dianggap rendah sekalipun tidak menyurutkan diri untuk selalu menjujung tinggi kehormatan, harga diri, cara berpikir, semangat hidup, dan kreativitas; Islam—di mana pun berada tidak semestinya berubah, harus utuh dan kekal; belajar segala hal tentang kehidupan—baru akan mematangkan ilmu yang mungkin didapat dari sekolah-sekolah.

Kalau bicara soal 'Proses Kepenulisan' jujur saja, saya sedikit minder, tapi bagaimanapun ini harus saya ungkapkan. Tiga tahun, sebagai penulis yang baru saja belajar menulis dan pekerjaan saya yang rendah yaitu hanya sebagai seorang TKW di Hongkong yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah, mewujudkan tulisan ini menjadi novel merupakan hal yang dulu menurut saya tidak mungkin. Ketika saya mulai belajar menulis sejak 2006 dengan masuk di komunitas sastra FLP wilayah HOngkong dan banyak membaca novel-novel remaja karya mbak Leyla Imtichanah, akhirnya perlahan saya mencoba mengukir mimpi menjadi novelis. Awalnya sepele, saya nge'Fans dengan boyband Taiwan bernama Fahrenheit. Entahlah apa yang membuat saya begitu 'mencintai' salah satu personil Fahrenheit Aaron Yan yang akhirnya saya tempatkan sebagai salah satu tokoh utama dalam novel ini. Ketika melihatnya bicara, tersenyum terasa greget saya semakin kuat untuk bisa dekat melalui halusinasi saya- kata temen-temen seperti orang gila. Lalu tercipta sebuah ide sederhana, kemudian sy mulai reset tempat-tempat yang saya jadikan setting nyata (jalan-jalan), mulai belajar bahasa Kantonis lebih dalam, Mandarin sedikit Jepang dan Korea untuk memberikan warna dalam novel ini.

Ternyata menulis bukan hal sederhana, saya harus membagi waktu. sedangkan jam kerja saya bisa dibilang selalu overtime. Dari bangun pagi jam 5 sudah mulai mengurus anak-anak majikan dan seorang manula.seluruh pekerjaan rumah tanpa kecuali harus selalu selesai sempurna sampai jam 12 malam bahkan kadang lebih. saya baru bisa masuk kamar setelah semua anggota keluarga tidur,baru saya mandi dan istirahat. Artinya jam terbang saya menulis sekitar jam 1 sampai jam 2 atau lebih dini hari. Awalnya saya sempat pesimis, ini tidak mungkin bisa saya lakukan. Tapi saya akali dengan waktu kerja (menjemput anak dr skul, membawa nenek jjs, di kereta api, di dapur saat masak) saya membawa note kecil untuk menulis bagian2 ceritanya, ketika ide muncul, saya segera corat-coret. Malamnya baru saya tuangkan ke dalam lepi (itu saja sembunyi2). selama dua tahun berhasil menulis sekitar 125 halaman saja.
Lalu saya ikutkan novel saya diajang sayembara novel nasional yang diadakan Penerbit Pro-u Media Jogjakarta. Dari 120 lebih peserta yang saya lihat juga ada mbak Leyla Imtichanah:D alhamdulillah bisa masuk 30
 besar walau akhirnya kalah dunk sama penulis senior seperti beliau, tapi bagi saya itu sudah jauh lebih baik. Akhirnya saya mulai Optimis. Novel dikembalikan oleh panitia dan beberapa revisi disana-sini saya lakukan. halaman bertambah menjadi 165.Vacuum, saya hentikan dulu karena banyak hal mengenai kesehatan saya sangat mengganggu.

Setelah desember 2009 saya sampai di Indonesia, saya mulai aktif lagi menulis, sekitar bulan Maret saya iseng mengirimkan naskah saya ke penerbit Diva Press yang saya tahu dekat dengan rumah saya di Jogja dari membaca buku-buku terbitan Diva Press. Tidak banyak berharap, karena Diva salah satu penerbit Major yg besar di kalangan nasional, seperti ketiban durian hahaha...akhirnya bulan Juni 2010 pihak Diva mengabari bahwa novel saya diterima. Saya sujud syukur sambil menangis dan hujan-hujan di halaman rumah. Akhirnya beberapa revisi saya lakukan, penambahan halaman dengan menambah konflik, setting saya pertajam juga penambahan tokoh atas permintaan penerbit. Dan menunggu selama 1,5 tahun lamanya :)) bulan Oktober 2011 ini novel perdana saya release.

Sungguh hal yang sulit saya percaya mengingat pendidikan saya yang hanya sebatas lulusan SMK dan tidak tahu sastra, tapi dengan perjuangan yang begitu berat & tdk menyerah alhamdulillah novel ini menjadi buku dan bisa dibaca semua orang. Jadi bagi siapapun saya tekankan, kita semua bisa menulis, asalkan ada niat. usaha dan doa yang tiada henti.

Novel ini bisa dipesan melalui:
www.divapress-online.com atau FB Komunitas Diva-Press kedua atau SMS ke 081215301336
Bagi yang mau pesan via saya/ barter buku juga bisa Inbox atau sms ke 0878 3815 6779.

JUDUL : XIE XIE NI DE AI - HONGKONG, TERIMA KASIH CINTAMU (Revisi Penerbit)
Tebal : 340 Halaman
Ukuran: 14 x 20 cm
Harga : Rp 44.000

Selamat Mencoba dan berekreasi ke Hongkong lewat Novel ini :))

Mell Shaliha








Tuesday 25 October 2011

ANTOLOGI CERITA HOROR - NEK KLEWEK

PEREMPUAN DI MUSEUM TUA
By : Mell Shaliha

Di dalam ruangan dokter Trisna mondar-mandir gelisah. Apa yang dilihatnya tadi seperti halusinasi tapi ia tidak  bisa menghapus bayangan itu dari ingatannya. Lalu ia mencoba tidur di sofa, memejamkan mata, walau pikirannya tidak benar-benar tidur. Justru perasaannya semakin menjadi, keringatnya menetes semakin deras. Suara-suara dalam pikirannya semakin bising dan tak membuatnya nyaman. Matanya terbuka, tepat pada meja kaca didepannya. Bayangan itu muncul lagi, lalu berpaling pada jam dinding dan barang-barang yang  bisa memantulkan bayangan. Wanita berambut panjang acak menutupi muka, membawa bayi tak berkaki yang terdiam kaku. Darah memenuhi baju yang dipakai wanita itu menetes pula dari bagian-bagian tubuh bayi yang belum sempurna. Menatap dengan sorot dingin yang menusuk. ***

Mau nyobain tantangan membaca 11 kisah horor ini? Cepetan dapetin buku antologi Kisah Seram ini di toko-toko buku terdekat, dijamin mengerikan!
JUDUL : NEK KLEWEK
PENULIS : VINDY putri, ADE wahyuniati, MELL shaliha dkk.
Harga       : Rp 25.000,00
Untuk Pemesanan hub : www.divapress-online.com atau FB Komunitas Diva-Press Kedua  atau FB : Mells Shaliha atau HP 0878 3815 6779.
Berani menerima tantangan? Cepet dapetin bukunya :D